1. SEJARAH ‘SAPARAN BEKAKAK”


Ketika pembangunan Kraton Yogyakarta sedang berlangsung, para abdi dalem tinggal di pesanggrahan Ambarketawang kecuali Ki Wirasuta yang memilih tinggal di sebuah gua di Gunung Gamping. Menurut cerita pada hari Jumat Kliwon, sekitar tanggal 10-15 Sapar menjelang purnama, terjadilah musibah yang menimpa Kyai Wirosuto sekeluarga. Disebutkan gunung yang sebagai tempat tinggal Kyai Wirosuto sekeluarga runtuh dan semuanya terkubur dalam reruntuhan termasuk binatang kesayangannya. Peristiwa ini dilaporkan kepada Sri Sultan HB I dan disuruh menggali, namun tidak diketemukan. Dengan adanya kejadian tadi Sri Sultan HB I memerintahkan kepada para abdi, agar setiap setahun sekali bulan Sapar hari Jumat antara tanggal 10-20 membuat selamatan dan ziarah ke Gunung Gamping.     Upacara Saparan semula bertujuan untuk menghormati kesetiaan Ki Wirasuta dan Nyi Wirasuta kepada Sri Sultan Hamengkubuwana I.  Namun selanjutnya tujuan upacara ialah untuk selamatan  karena sebagian besar penduduk sekitar Gunung Gamping mencari nafkah sebagai pengambil gamping. Cara pengambilan gamping sangat berbahaya karena masuk ke dalam gua. Untuk  itu agar selamat maka diadakan selamatan. Kemudian wujud pokok pelaksanaan penyembelihan Bekakak yaitu untuk menggantikan korban manusia yang dahulu selalu terjadi. Oleh karena itu upacara Saparan di Gamping disebut juga Upacara Bekakak.

  1. KEKHASAN RITUAL BEKAKAK


Pelaksanaan upacara tersebut diperinci dalam beberapa tahap yaitu:
- tahap midodareni bekakak
- tahap kirab
- tahap Nyembelih pengantin bekakak
- tahap sugengan Ageng.

Tempat penyelenggaraan upacara disesuaikan dengan pelaksanaan upacara. Persiapan penyelenggaraan upacara dibagi dalam dua macam yaitu saparan bekakak dan sugengan ageng. Persiapan untuk saparan bekakak terutama pembuatan bekakak dari tepung ketan dan membuat juruh, yang memakan waktu 8 jam. Pada saat pembuatan tepung diiringi gejong lesung atau kothekan yang memiliki bermacam-macam irama antara lain, kebogiro, thong-thongsot, dhengthek, wayangan, kutut manggung dan lain-lain.

Apabila penumbukan beras telah selesai, kemudian dilakukan pembuatan bekakak, gendruwo, kembang mayang, dan sajen-sajen, di satu tempat yaitu di rumah Bapak Roesman (panitia). Bentuk bekakak laki-laki dan perempuan dengan bentuk pengantin pria dan wanita pada umumnya dua pasang pengantin bekakak dengan sepasang bergaya Solo, dan sepasang bergaya Yogyakarta. Adapun pengantin laki-laki yang bergaya Solo dihias dengan ikat kepala ahestar berhiaskan bulu-bulu, leher berkalung selendang merah, dan kalung sungsun berkain bangun tulak, sabuk biru, memakai slepe. Mengenakan keris beruntaikan bunga melati, dan kelat bau. Sedangkan yang wanita memakai kemben berwarna biru, berkalung selendang merah dan kalung sungsun. Wajah dipaes, gelung diberi bunga-bunga dan mentul, di bahu diberi kelat bahu dan memakai subang.

Adapun pengantin laki-laki yang bergaya Yogyakarta, dihias dengan penutup kepala kuluk berwarna merah, berkalung selendang (sluier) biru dan kalung sungsun, sabuk biru dengan slepe, kain lereng, berkelat bahu dan bersumping, kemben hijau, kalung selendang biru (bangu tulak). Kekhususan yang tidak dapat dilanggar sampai saat ini, yaitu pelaku yang menyiapkan bahan mentahnya tetap para wanita, sedang yang mengerjakan pembuatan bekakak adalah para pria.

Sesaji upacara bekakak dibagi menjadi 3 kelompok. Dua kelompok untuk dua jali yang masing-masing diletakkan bersama-sama dengan pengantin bekakak. Satu kelompok lagi diletakkan di dalam jodhang sebagai rangkaian pelengkap sesaji upacara. Macam-macam sesajen yang diletakkan bersama-sama pengantin bekakak antara lain nasi gurih (wuduk) ditempatkan dalam pengaron kecil: nasi liwet ditempatkan dalam kendhil kecil beserta rangkaiannya daun dhadhap, daun turi, daun kara yang direbus, telur mentah dan sambal gepeng: tumpeng urubing dhamar, kelak kencana, pecel pitik, jangan menir, urip-uripan lele, rindang antep, ayam panggang, ayam lembaran, wedang kopi pahit, wedang kopi manis, jenewer, rokok/cerutu, rujak degan, rujak dheplok, arang-arang kemanis, padi, tebu, pedupaan, candu (impling), nangka sabrang, gecok mentah, ulam mripat, ulam jerohan, gereh mentah.

Sesaji itu ditempatkan dalam sudhi, gelas, kemudian ditaruh di atas jodhang antara lain sekul wajar (nasi ambeng) dengan lauk pauk: sambel goreng waluh, tumis buncis, rempeyek, tempe garing, bergedel, entho-entho, dan sebagainya, sekul galang lutut, sekul galang biasa, tempe rombyong yang ditaruh dalam cething bambu, tumpeng megana, sanggan (pisang raja setangkep), sirih sepelengkap, jenang-jenangan, rasulan (nasi gurih), ingkung ayam, kolak, apem, randha kemul, roti kaleng, jadah bakar, emping, klepon (golong enten-enten), tukon pasar, sekar konyoh, kemenyan, jlupak baru, ayam hidup, kelapa, sajen-sajen tadi ditempatkan dalam sudhi lalu semuanya diletakkan dalam lima ancak, dua ancak diikutsertakan dalam jali dibagikan kepada mereka yang membuat kembang mayang, bekakak dan yang menjadikan tepung (ngglepung) sementara itu disiapkan pula burung merpati dalam sangkar.

Midodareni Bekakak: Meskipun bekakak ini, berujud pengantin tiruan, tetapi menurut adat perlu juga memakai upacara midodareni. Kata midodareni bersal dari bahasa Jawa widodari yang berarti bidadari. Di sini terkandung makna bahwa pada malam midodareni para bidadari turun dari surga untuk memberi restu pada pengantin bekakak.

Tahap upacara ini berlangsung pada malam hari (kamis malam) dimulai jam 20.00. dua buah jali berisi pengantin bekakak dan sebuah jodhang berisi sesaji disertai sepasang suami istri gendruwo dan wewe, semua diberangkatkan ke balai desa Ambarketawang dengan arak-arakan. Adapun urutan barisan arakan dari tempat persiapan ke balai desa Ambarketawang sebagai berikut :
- barisan pembawa umbul-umbul
- barisan peleton pengawal dari Gamping tengah
- joli pengantin dan jodhang
- reyog dari Gamping kidul
- pengiring yang lain

Kemudian semua jali dan lain-lain diserahkan kepada Bapak kepala Desa Ambarketawang. Pada malam midodareni itu, diadakan malam tirakatan seperti hanya pengantin benar-benar, bertempat di pendhopo ataupun diadakan pertunjukan hiburan wayang kulit, uyon-uyon, reyog. Di rumah Ki Juru Permono diadakan pula tahlilan yang dilaksanakan oleh bapak-bapak dari kemusuk kemudian dilanjutkan dengan malam tirakatan yang diikuti oleh penduduk sekitar. Di pesanggrahan Ambarketawang juga diadakan tirakatan.

Kirab Pengantin Bekakak: Tahap kirab pengantin bekakak ini merupakan pawai atau arak-arakan yang membawa jali pengantin bekakak ke tempat penyembelihan. Bersama dengan ini diarak pula rangkaian sesaji sugengan Ageng yang dibawa dari Patran ke pesanggrahan. Juga diarak ke balai desa terlebih dahulu.

Adapun urut-urutan pawai upacara tradisional saparan bekakak sebagai berikut:

  • reyog dan jathilan dari Patran

  • sesaji sugengan Ageng

  • barisan prajurit dari Gamping tengah membawa umbul-umbul Mereka    membawa seruling, genderang dan mung-mung

  • prajurit putri membawa perisai, pedang, mengenakan baju berwarna-warni, celana panjang cinde dan berkain loreng.

  • rombongan Demang dan kawan-kawan. Demang tersebut mengenakan kain, baju beskap hitam, memakai selempang kuning

  • jagabaya berkain, baju beskap hitam, memakai serempang merah

  • kaum atau rois, mengenakan kain berbaju surjan memakai serempang putih.

  • pembawa tombak berbungkus cindhe beruntaikan bunga melati, mereka mengenakan celana hitam kagok, baju lurik, iket wulung, berselempang cindhe. Tiga pemudi mengenakan kain lurik ungu, baju hijau, memakai selempang merah, masing-masing membawa tiruan landak, gemak, merpati.

  • barisan pembawa tombak, memakai celana merah, baju lurik merah, iket berwarna merah jingga

  • peserta bapak-bapak yang berkain berbaju surjan seragam warna merah, memakai sampur berwarna-warni

  • prajurit anak-anak, laki-laki perempuan membawa jemparing (panah)

  • joli sesaji (jodhang) yang dibawa oleh petugas memakai seragam hitam kagok, baju merah iket biru

  • barisan selawatan

  • joli bekakak Gunung Kliling.

  • barisan yang membawa kembang mayang, cengkir, bendhe, tombak, dan luwuk semua dipayungi.

  • barisan berkuda

  • barisan pembawa panji-panji berwarna-warni yang mengenakan kain, baju surjan biru muda dan iket hitam.

  • tiga pemudi membawa banyak dhalang, sawung galing, ardawalika

  • tiga orang pemuda membawa padupaan dan bunga-bunga diikuti pembawa alat musik genderang, seruling dan mung-mung

  • prajurit Gamping Lor, diikuti prajurit, putri yang membawa panah, disusul lagi mereka yang membawa pedang panjang

  • jali sesaji (jodhang) yang dibawa oleh petugas memakai seragam celana hitam kagok, baju merah iket biru.

  • jathilan dari patran

  • prajurit Gamping Kidul, ada yang memakai topeng buron wana (landhak, kerbau, garuda) ada yang membawa tombak bertrisula, tombak biasa.

  • reyog Gunung Kidul (seperti badhak merak)


Nyembelih Pengantin Bekakak. Apabila arak-arakan telah tiba di Gunung Ambarketawang, maka joli pertama yang berisi sepasang pengantin bekakak, diusung ke arah mulut gua. Kemudian ulama (kaum) memberi syarat agar berhenti dan memanjat doa.

Selesai pembacaan doa, boneka ketan sepasang pengantin itu disembelih dan dipotong-potong dibagikan kepada para pengunjung demikian pula sesaji yang lain. Arak-arakan kemudia dilanjutkan menuju Gunung Kliling untuk mengadakan upacara penyembelihan pengantin bekakak yang kedua dan pembagian potongan bekakak yang kedua kepada para pengunjung.

Adapun jodhang yang berisi sajen selamatan dibagikan kepada petugas di tempat penyembelihan terakhir.

Sugengan Ageng. Sugengan Ageng yang dilaksanakan di Pesanggrahan Ambarketawang ini dipimpin oleh Ki Juru Permana pada hari tersebut. Pesanggrahan telah dihiasi janur (tarub) dan sekelilingnya diberi hiasan kain berwarna hijau dan kuning. Sesaji Sugengan Ageng yang dibawa dari patran, berujud jodhang, jali kembang mayang, kelapa gadhing (cengkir), air amerta, bokor tempat sibar-sibar, pusaka-pusaka, dan payung agung telah diatur dengan rapi di tempat masing-masing.

Upacara ini dilaksanakan di Gunung Kliling selesai. Pertama-tama pembakaran kemenyan, lalu dilanjutkan oleh Ki Juru Permana membuka upacara tadi dengan mengikrarkan adanya Sugengan Ageng tersebut, dilanjutkan pembacaan doa dalam bahasa Arab. Setelah selesai maka dilepaskannya sepasang burung merpati putih oleh Ki Juru permana. Pelepasan burung merpati ini disertai tepuk tangan para hadirin yang menyaksikannya. Kemudian dilakukan pembagian sesaji Sugengan Ageng yang berada dalam joli rahmat Allah kepada semua yang hadir, terutama makanan tawonan kegemaran Sultan Hamengku Buwana I. Dengan selesainya pembagian sesaji yang dilaksanakan, di pesanggrahan Ambarketawang.

 

  1. TEORI FUNGSI DAN DISFUNGSI

    1. Fungsi





  • Bagi Pemerintah. Karena dengan adanya upacara adat Saparan Bekakak merupakan upacara yang turun temurun dari dulu yang masih dipertahankan sebagai nilai dari mempertahankan budaya yogyakarta, bahkan sampai dijadwalkan oleh pemerintah kabupaten Sleman. Hal ini juga memberi daya tarik bagi para pengunjung kota yogyakarta.

  • Bagi lingkungan Kraton Yogyakarta. Karena upacara ini merupakan upacara peringatan untuk salah satu abdi dalem kraton yang secara langsung merupakan bagian dari kraton itu sendiri, sehingga dengan adanya upacara ini dapat mempertahankan tradisi secara turun temurun untuk menghormati orang orang kraton terdahulu.

  • Peserta Saparan Bekakak. Karena dengan adanya acara inia juga mempererat persaudaraan dan wahana untuk silaturrahmi bersama dengan pemerintah, pihak kraton dan semua masyarakat yang terlibat. Selain itu dengan upacara ini masyarakat menganggap sebagai ritual yang dapat menghindari dari bahaya, terutama bagi warga yang biasanya mengais riski dari gunung gamping. Dengan upacara inilah akan menjadikan ketenangan bagi warga masyarakat.

  • Masyarakat. Upacara ini dapat menjadi hiburan bagi sebagian masyarakat karena berbagai kesenian yogyakarta berada disini. Terutama bagi generasi muda dan para pendatang, hal ini juga menjadi upaya memperkenalkan budaya saparan bekakak. Disamping itu, masyarakat yang berada disekitar situ akan memperoleh jajan/ makanan yang dibawa dalam upasara bekakak, seperti buah-buahan dan jajanan pasar yang akan dibagi-bagikan.



  1. Disfungsi



  • Umat islam. Dengan upacara ini terdapat ritual yang berbau syirik, seperti pemberian sesaji di gua gamping, pemanjatan do’a kepada orang yang telah meninggal. Hal ini bagi sebagian masyarakat yang menyadari bahayanya menimbulkan kekhawatiran bagi para generasi muda yang mengikuti upacara ini dengan motif berbeda dn tidak mengetahui makna dari upacara tersebut.

  • Sebagian Seniman. Karena saking banyaknya peserta seniman yang bergabung di upacara tersebut, sehingga setiap tahunnya panitia membatasi peserta dalam upacara tersebut. Sehingga tidak semua orang bisa menjadi bagian dari peserta upacara tersebut, hanya bisa menjadi penonton.

  • Warga miskin. Karena banyaknya hal yang perlu dipersiapkan mulai dari acara pembuatan patung genderwo, wewe dan bekakak yang juga menbuthkan dana dan ketrampilan juga bersamaan dengan berbagai acar hiburan lainnya yang memungkinkan warga untuk menyumbangkan dana atau hasil panen yang akan digunakan dalam upacara saparan bekakak.


 

 

 

 

 

 

 

Lampiran

 

Proses penyembelihan bekakak

 

 

Suasana kirap bekakak

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Patung genderwo

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

A.     SEJARAH ‘SAPARAN BEKAKAK”


            Ketika pembangunan Kraton Yogyakarta sedang berlangsung, para abdi dalem tinggal di pesanggrahan Ambarketawang kecuali Ki Wirasuta yang memilih tinggal di sebuah gua di Gunung Gamping. Menurut cerita pada hari Jumat Kliwon, sekitar tanggal 10-15 Sapar menjelang purnama, terjadilah musibah yang menimpa Kyai Wirosuto sekeluarga. Disebutkan gunung yang sebagai tempat tinggal Kyai Wirosuto sekeluarga runtuh dan semuanya terkubur dalam reruntuhan termasuk binatang kesayangannya. Peristiwa ini dilaporkan kepada Sri Sultan HB I dan disuruh menggali, namun tidak diketemukan. Dengan adanya kejadian tadi Sri Sultan HB I memerintahkan kepada para abdi, agar setiap setahun sekali bulan Sapar hari Jumat antara tanggal 10-20 membuat selamatan dan ziarah ke Gunung Gamping.    Upacara Saparan semula bertujuan untuk menghormati kesetiaan Ki Wirasuta dan Nyi Wirasuta kepada Sri Sultan Hamengkubuwana I.  Namun selanjutnya tujuan upacara ialah untuk selamatan  karena sebagian besar penduduk sekitar Gunung Gamping mencari nafkah sebagai pengambil gamping. Cara pengambilan gamping sangat berbahaya karena masuk ke dalam gua. Untuk  itu agar selamat maka diadakan selamatan. Kemudian wujud pokok pelaksanaan penyembelihan Bekakak yaitu untuk menggantikan korban manusia yang dahulu selalu terjadi. Oleh karena itu upacara Saparan di Gamping disebut juga Upacara Bekakak.  


B.     KEKHASAN RITUAL BEKAKAK


Pelaksanaan upacara tersebut diperinci dalam beberapa tahap yaitu:
- tahap midodareni bekakak
- tahap kirab
- tahap Nyembelih pengantin bekakak
- tahap sugengan Ageng.


                        Tempat penyelenggaraan upacara disesuaikan dengan pelaksanaan upacara. Persiapan penyelenggaraan upacara dibagi dalam dua macam yaitu saparan bekakak dan sugengan ageng. Persiapan untuk saparan bekakak terutama pembuatan bekakak dari tepung ketan dan membuat juruh, yang memakan waktu 8 jam. Pada saat pembuatan tepung diiringi gejong lesung atau kothekan yang memiliki bermacam-macam irama antara lain, kebogiro, thong-thongsot, dhengthek, wayangan, kutut manggung dan lain-lain.


                        Apabila penumbukan beras telah selesai, kemudian dilakukan pembuatan bekakak, gendruwo, kembang mayang, dan sajen-sajen, di satu tempat yaitu di rumah Bapak Roesman (panitia). Bentuk bekakak laki-laki dan perempuan dengan bentuk pengantin pria dan wanita pada umumnya dua pasang pengantin bekakak dengan sepasang bergaya Solo, dan sepasang bergaya Yogyakarta. Adapun pengantin laki-laki yang bergaya Solo dihias dengan ikat kepala ahestar berhiaskan bulu-bulu, leher berkalung selendang merah, dan kalung sungsun berkain bangun tulak, sabuk biru, memakai slepe. Mengenakan keris beruntaikan bunga melati, dan kelat bau. Sedangkan yang wanita memakai kemben berwarna biru, berkalung selendang merah dan kalung sungsun. Wajah dipaes, gelung diberi bunga-bunga dan mentul, di bahu diberi kelat bahu dan memakai subang.


                                    Adapun pengantin laki-laki yang bergaya Yogyakarta, dihias dengan penutup kepala kuluk berwarna merah, berkalung selendang (sluier) biru dan kalung sungsun, sabuk biru dengan slepe, kain lereng, berkelat bahu dan bersumping, kemben hijau, kalung selendang biru (bangu tulak). Kekhususan yang tidak dapat dilanggar sampai saat ini, yaitu pelaku yang menyiapkan bahan mentahnya tetap para wanita, sedang yang mengerjakan pembuatan bekakak adalah para pria.


                        Sesaji upacara bekakak dibagi menjadi 3 kelompok. Dua kelompok untuk dua jali yang masing-masing diletakkan bersama-sama dengan pengantin bekakak. Satu kelompok lagi diletakkan di dalam jodhang sebagai rangkaian pelengkap sesaji upacara. Macam-macam sesajen yang diletakkan bersama-sama pengantin bekakak antara lain nasi gurih (wuduk) ditempatkan dalam pengaron kecil: nasi liwet ditempatkan dalam kendhil kecil beserta rangkaiannya daun dhadhap, daun turi, daun kara yang direbus, telur mentah dan sambal gepeng: tumpeng urubing dhamar, kelak kencana, pecel pitik, jangan menir, urip-uripan lele, rindang antep, ayam panggang, ayam lembaran, wedang kopi pahit, wedang kopi manis, jenewer, rokok/cerutu, rujak degan, rujak dheplok, arang-arang kemanis, padi, tebu, pedupaan, candu (impling), nangka sabrang, gecok mentah, ulam mripat, ulam jerohan, gereh mentah.


                        Sesaji itu ditempatkan dalam sudhi, gelas, kemudian ditaruh di atas jodhang antara lain sekul wajar (nasi ambeng) dengan lauk pauk: sambel goreng waluh, tumis buncis, rempeyek, tempe garing, bergedel, entho-entho, dan sebagainya, sekul galang lutut, sekul galang biasa, tempe rombyong yang ditaruh dalam cething bambu, tumpeng megana, sanggan (pisang raja setangkep), sirih sepelengkap, jenang-jenangan, rasulan (nasi gurih), ingkung ayam, kolak, apem, randha kemul, roti kaleng, jadah bakar, emping, klepon (golong enten-enten), tukon pasar, sekar konyoh, kemenyan, jlupak baru, ayam hidup, kelapa, sajen-sajen tadi ditempatkan dalam sudhi lalu semuanya diletakkan dalam lima ancak, dua ancak diikutsertakan dalam jali dibagikan kepada mereka yang membuat kembang mayang, bekakak dan yang menjadikan tepung (ngglepung) sementara itu disiapkan pula burung merpati dalam sangkar.


                        Midodareni Bekakak: Meskipun bekakak ini, berujud pengantin tiruan, tetapi menurut adat perlu juga memakai upacara midodareni. Kata midodareni bersal dari bahasa Jawa widodari yang berarti bidadari. Di sini terkandung makna bahwa pada malam midodareni para bidadari turun dari surga untuk memberi restu pada pengantin bekakak.


Tahap upacara ini berlangsung pada malam hari (kamis malam) dimulai jam 20.00. dua buah jali berisi pengantin bekakak dan sebuah jodhang berisi sesaji disertai sepasang suami istri gendruwo dan wewe, semua diberangkatkan ke balai desa Ambarketawang dengan arak-arakan. Adapun urutan barisan arakan dari tempat persiapan ke balai desa Ambarketawang sebagai berikut :
- barisan pembawa umbul-umbul
- barisan peleton pengawal dari Gamping tengah
- joli pengantin dan jodhang
- reyog dari Gamping kidul
- pengiring yang lain


                                    Kemudian semua jali dan lain-lain diserahkan kepada Bapak kepala Desa Ambarketawang. Pada malam midodareni itu, diadakan malam tirakatan seperti hanya pengantin benar-benar, bertempat di pendhopo ataupun diadakan pertunjukan hiburan wayang kulit, uyon-uyon, reyog. Di rumah Ki Juru Permono diadakan pula tahlilan yang dilaksanakan oleh bapak-bapak dari kemusuk kemudian dilanjutkan dengan malam tirakatan yang diikuti oleh penduduk sekitar. Di pesanggrahan Ambarketawang juga diadakan tirakatan.


Kirab Pengantin Bekakak: Tahap kirab pengantin bekakak ini merupakan pawai atau arak-arakan yang membawa jali pengantin bekakak ke tempat penyembelihan. Bersama dengan ini diarak pula rangkaian sesaji sugengan Ageng yang dibawa dari Patran ke pesanggrahan. Juga diarak ke balai desa terlebih dahulu.


Adapun urut-urutan pawai upacara tradisional saparan bekakak sebagai berikut:


·        reyog dan jathilan dari Patran


·        sesaji sugengan Ageng


·        barisan prajurit dari Gamping tengah membawa umbul-umbul Mereka    membawa seruling, genderang dan mung-mung


·        prajurit putri membawa perisai, pedang, mengenakan baju berwarna-warni, celana panjang cinde dan berkain loreng.


·        rombongan Demang dan kawan-kawan. Demang tersebut mengenakan kain, baju beskap hitam, memakai selempang kuning


·        jagabaya berkain, baju beskap hitam, memakai serempang merah


·        kaum atau rois, mengenakan kain berbaju surjan memakai serempang putih.


·        pembawa tombak berbungkus cindhe beruntaikan bunga melati, mereka mengenakan celana hitam kagok, baju lurik, iket wulung, berselempang cindhe. Tiga pemudi mengenakan kain lurik ungu, baju hijau, memakai selempang merah, masing-masing membawa tiruan landak, gemak, merpati.


·        barisan pembawa tombak, memakai celana merah, baju lurik merah, iket berwarna merah jingga


·        peserta bapak-bapak yang berkain berbaju surjan seragam warna merah, memakai sampur berwarna-warni


·        prajurit anak-anak, laki-laki perempuan membawa jemparing (panah)


·        joli sesaji (jodhang) yang dibawa oleh petugas memakai seragam hitam kagok, baju merah iket biru


·        barisan selawatan


·        joli bekakak Gunung Kliling.


·        barisan yang membawa kembang mayang, cengkir, bendhe, tombak, dan luwuk semua dipayungi.


·        barisan berkuda


·        barisan pembawa panji-panji berwarna-warni yang mengenakan kain, baju surjan biru muda dan iket hitam.


·        tiga pemudi membawa banyak dhalang, sawung galing, ardawalika


·        tiga orang pemuda membawa padupaan dan bunga-bunga diikuti pembawa alat musik genderang, seruling dan mung-mung


·        prajurit Gamping Lor, diikuti prajurit, putri yang membawa panah, disusul lagi mereka yang membawa pedang panjang


·        jali sesaji (jodhang) yang dibawa oleh petugas memakai seragam celana hitam kagok, baju merah iket biru.


·        jathilan dari patran


·        prajurit Gamping Kidul, ada yang memakai topeng buron wana (landhak, kerbau, garuda) ada yang membawa tombak bertrisula, tombak biasa.


·        reyog Gunung Kidul (seperti badhak merak)



Nyembelih Pengantin Bekakak. Apabila arak-arakan telah tiba di Gunung Ambarketawang, maka joli pertama yang berisi sepasang pengantin bekakak, diusung ke arah mulut gua. Kemudian ulama (kaum) memberi syarat agar berhenti dan memanjat doa.


            Selesai pembacaan doa, boneka ketan sepasang pengantin itu disembelih dan dipotong-potong dibagikan kepada para pengunjung demikian pula sesaji yang lain. Arak-arakan kemudia dilanjutkan menuju Gunung Kliling untuk mengadakan upacara penyembelihan pengantin bekakak yang kedua dan pembagian potongan bekakak yang kedua kepada para pengunjung.


Adapun jodhang yang berisi sajen selamatan dibagikan kepada petugas di tempat penyembelihan terakhir.


Sugengan Ageng. Sugengan Ageng yang dilaksanakan di Pesanggrahan Ambarketawang ini dipimpin oleh Ki Juru Permana pada hari tersebut. Pesanggrahan telah dihiasi janur (tarub) dan sekelilingnya diberi hiasan kain berwarna hijau dan kuning. Sesaji Sugengan Ageng yang dibawa dari patran, berujud jodhang, jali kembang mayang, kelapa gadhing (cengkir), air amerta, bokor tempat sibar-sibar, pusaka-pusaka, dan payung agung telah diatur dengan rapi di tempat masing-masing.


                        Upacara ini dilaksanakan di Gunung Kliling selesai. Pertama-tama pembakaran kemenyan, lalu dilanjutkan oleh Ki Juru Permana membuka upacara tadi dengan mengikrarkan adanya Sugengan Ageng tersebut, dilanjutkan pembacaan doa dalam bahasa Arab. Setelah selesai maka dilepaskannya sepasang burung merpati putih oleh Ki Juru permana. Pelepasan burung merpati ini disertai tepuk tangan para hadirin yang menyaksikannya. Kemudian dilakukan pembagian sesaji Sugengan Ageng yang berada dalam joli rahmat Allah kepada semua yang hadir, terutama makanan tawonan kegemaran Sultan Hamengku Buwana I. Dengan selesainya pembagian sesaji yang dilaksanakan, di pesanggrahan Ambarketawang.


 


C.    TEORI FUNGSI DAN DISFUNGSI


1.      Fungsi


·        Bagi Pemerintah. Karena dengan adanya upacara adat Saparan Bekakak merupakan upacara yang turun temurun dari dulu yang masih dipertahankan sebagai nilai dari mempertahankan budaya yogyakarta, bahkan sampai dijadwalkan oleh pemerintah kabupaten Sleman. Hal ini juga memberi daya tarik bagi para pengunjung kota yogyakarta.


·        Bagi lingkungan Kraton Yogyakarta. Karena upacara ini merupakan upacara peringatan untuk salah satu abdi dalem kraton yang secara langsung merupakan bagian dari kraton itu sendiri, sehingga dengan adanya upacara ini dapat mempertahankan tradisi secara turun temurun untuk menghormati orang orang kraton terdahulu.


·        Peserta Saparan Bekakak. Karena dengan adanya acara inia juga mempererat persaudaraan dan wahana untuk silaturrahmi bersama dengan pemerintah, pihak kraton dan semua masyarakat yang terlibat. Selain itu dengan upacara ini masyarakat menganggap sebagai ritual yang dapat menghindari dari bahaya, terutama bagi warga yang biasanya mengais riski dari gunung gamping. Dengan upacara inilah akan menjadikan ketenangan bagi warga masyarakat.


·        Masyarakat. Upacara ini dapat menjadi hiburan bagi sebagian masyarakat karena berbagai kesenian yogyakarta berada disini. Terutama bagi generasi muda dan para pendatang, hal ini juga menjadi upaya memperkenalkan budaya saparan bekakak. Disamping itu, masyarakat yang berada disekitar situ akan memperoleh jajan/ makanan yang dibawa dalam upasara bekakak, seperti buah-buahan dan jajanan pasar yang akan dibagi-bagikan.


2.      Disfungsi


·        Umat islam. Dengan upacara ini terdapat ritual yang berbau syirik, seperti pemberian sesaji di gua gamping, pemanjatan do’a kepada orang yang telah meninggal. Hal ini bagi sebagian masyarakat yang menyadari bahayanya menimbulkan kekhawatiran bagi para generasi muda yang mengikuti upacara ini dengan motif berbeda dn tidak mengetahui makna dari upacara tersebut.


·        Sebagian Seniman. Karena saking banyaknya peserta seniman yang bergabung di upacara tersebut, sehingga setiap tahunnya panitia membatasi peserta dalam upacara tersebut. Sehingga tidak semua orang bisa menjadi bagian dari peserta upacara tersebut, hanya bisa menjadi penonton.


·        Warga miskin. Karena banyaknya hal yang perlu dipersiapkan mulai dari acara pembuatan patung genderwo, wewe dan bekakak yang juga menbuthkan dana dan ketrampilan juga bersamaan dengan berbagai acar hiburan lainnya yang memungkinkan warga untuk menyumbangkan dana atau hasil panen yang akan digunakan dalam upacara saparan bekakak.


 


 


 


 


 


 


 


Lampiran
































bekakak-cewek




Proses penyembelihan bekakak


 
















Suasana kirap bekakak


 






genderuwo cowok

 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


Patung genderwo


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


.


 


 


 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.

 

 

 
Anda membaca artikel dan anda bisa menemukan Anchor Text artikel dengan url https://bloggerbantul.blogspot.com/2011/12/sejarah-saparan-bekakak-ketika.html.


Backlink here..

Description: Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed:


Shares News - 20.28


Share your views...

0 Respones to " "

Posting Komentar